Keisl@m@n

June 22, 2006

Almarhum Ust Ahmad Madani, Lc pernah memberikan sebuah pesan menarik :
“Akhi, kalau antum ketemu dengan orang buta, coba bicara tentang kebutaan dan dunia baginya. Pastinya mereka akan menjawab dengan sama. Mulanya mereka merasa berat ketika menjadi seorang tunanetra. Tapi hati mereka selalu berbisik “Menangis atau menyesal tidak akan mengembalikan penglihatanmu, sekarang carilah cara agar kamu dapat hidup dengan layak sebagaimana yang telah engkau dapatkan dulu selagi bisa melihat”. Akhirnya mereka cari cara agar bisa bertemu dengan sesamanya. Tentunya, kaleng yang didalamnya adalah batu-batu kecil menjadi alat pencari jejak utama mereka selama dalam pencarian teman. Klentang.. klenteng. Komunikasi kemudian terjadi tanpa ada su’uzhon diantara mereka. Mereka tidak su’uzhon karena mereka merasa sudah seperti tidak berharga dimata manusia normal. Tapi bagi new comer akan selalu hati-hati ketika bertemu dengan suara asing, karena dia merasa kalau dia bisa melakukannya sendiri (dengan kata lain, dia tidak terima kebutaannya). Lihatlah skarang akhi, banyak tunanetra yang lebih prestatif dari kita. Ada huffazh dari kalangan mereka. Ada politisi dari kalangan mereka. Dan lain-lain. Seakan dunia mereka dunia kejernihan yang membahas sekeliling berdasarkan hati. Pernahkah kita merasa heran dengan begitu hafalnya mereka dengan tempat sekeliling, bentuk uang, suara orang, suara binatang, suara kendaraan, suara angin, dan lain-lain yang menurut kita tidak penting…”

Sederhana nian ungkapan beliau. Beliau mengumpamakan cerita diatas dengan kehidupan kita. Dua kata yang kuingat. Biasa dan Berani. Biasa beribadah akan menyebabkan kita berani menerima apa yang ditaqdirkan Allah. Biasa berorasi ditambah berani menanggung resiko menghasilkan kemuliaan. Ya, tidak lebih. Hidup adalah berdasarkan kebiasaan dan keberanian. Kita manusia normal, kalau kita tidak memiliki keberanian menghadapi hidup, berarti kita telah kalah set dengan mereka para tunanetra. Dan posisi untuk orang yang tidak memiliki keberanian adalah seperti tunawisma yang hanya berani untuk membebani orang lain. Na’udzubilLah

Tinggalkan komentar